MASALAH KINERJA DAN AKUNTABILITAS KEPALA DAERAH DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DI ERA OTONOMI DAERAH - Reformasi birokrasi menurut saya merupakan salah satu agenda pokok yang terpisahkan dalam otonomi daerah. Apalagi reformasi di tubuh birokrasi ini merupakan yang paling ketinggalan di bandingkan reformasi di bidang politik maupun ekonomi. Otonomi daerah sebagai hak daerah untuk memiliki kemandirian dalam memajukan masyarakatnya secara demokratis, baik di bidang politik, ekonomi maupun budaya, memerlukan suatu birokrasi yang reformis, efisien, dan kreatif, inovatif, dan mampu menjawab tantangan dalam menghadapi ketidakpastian (unsertainties) di masa kini dan akan datang. yang di maksud dengan reformasi birokrasi (sebagai alat ) adalah a means to make the administrative system a more effectve instrument for sosial change, a better instrument to bring about political equality, social justice and economic growth. Sebagai proses, reformasi birokrasi, juga dapat di lihat sebagai berubahnya praktek-praktek, tingkah laku, dan struktur birokrasi yang telah mapan.
Di mana transisi di daerah, pusat-pusat kekuasaan tidak lagi numpuk kepada satu figur Kepala Daerah (eksekutif), tetapi mulai melebar kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)legislatif. Hubungan kerja di antara dua lembaga tersebut yang di masa UU No. 5/74 bersifat herarkis (secara de facto DPRD berada di bawah kekuasaan Kepala Daerah meskipun secara de jure sejajar), kini di bawah UU No. 22/99 tentang Pemerintahan Daerah, telah bergeser menjadi hubungan kekuasaan yang sejajar, equal. Pengambilan kekuasaan yang tadinya bisa di ambil secara cepat/sepihak oleh kepala daerah, sekarang hal ini relatif sulit di lakukan karena harus di lakukan melalui dialog/negoisasi dengan DPRD. Mungkin lambangnya proses negoisasi, salah satu petinggi dari Depdagri melihat DPRD sebagai lembaga penghambat proses pengambilan keputusan, dan oleh karena itu DPRD di tuduh sebagai pihak penghambat pelayanan publik.
Saat ini tidak ada lagi 'garis penghubung' yang secara langsung yang menghubungkan antara rakyat dengan pemimpin, karena baik eksekutif maupun legislatif tidak bertanggung jawab secara langsung kepada rakyat. Salah satu akses dari sistem yang keliru ini adalah minimnya atau (bahkan mandegnya) inovasi dan progres di birokrasi, termasuk kegagalan dalam menyingkirkan sisa birokrasi, termasuk kegagalan dalam menyingkirkan sisa-sisa Orde Baru (dan mentalitas Orde Baru/mentalitas KKN di kalangan parpol-parpol baru/pihak-pihak yang mengaku dirinya 'reformis'), di tingkat lokal. Padahal inovasi progres penting untuk demokratisasi. Menurut pendapat saya, hal ini di sebabkan karena kegagalan eksekutif dan legislatif untuk menciptakan sinergi positif antara keduanya, dan sinergi dengan masyarakat (local comunities). Keterkaitan elit lokal dengan local communities ini subtansial sebagai faktor pengontrol yang sangat di perlukan bagi munculnya pemerintahan daerah yang akuntabel dan aspiratif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar