Sabtu, 22 Agustus 2015

Teori Apung Benua (Continental Drift)

| Sabtu, 22 Agustus 2015
Teori Apung Benua (Continental Drift) - Pada awal tahun 1912-an, Alfred.L. Wegener seorang ahli klimatologi dan geofisika menerbitkan buku yang berjudul The Origin of Continent and Oceans dalam buku tersebut ia mengajukan sebuah ide tentang teori apung benua. Idenya berpusat pada benua-benua yang bergerak melintasi permukaan bumi. 

Teori Apung Benua (Continental Drift)

Teori Apung Benua (Continental Drift)
Menurut Wagener, benua terdiri atas batuan sial yang terapung pada batuan sima yang lebih besar berat jenisnya. Benua-benua ini bergerak menuju khatulistiwa dan ke bagian barat. Pada zaman Karbon, kemungkinan besar hanya ada satu benua yaitu pangae. Lebih kurang 200 juta tahun yang lalu, terbentuk daratan gondwana dan lauratia yang merupakan pecahan dari pangaea, dan seterusnya. Bersama teman-temannya, ia mengumpulkan bukti atas teorinya. diantaranya adalah adanya kesesuaian antara Amerika Selatan dan Afrika, baik dari segi paleoklimatik, fosil maupun struktur batuan yang kesemuanya menunjukkan bahwa kedua benua tersebut pernah menjadi satu.

Menurut para ahli, teori inilah yang mendasari pembentukan lempeng-lempeng bumi, yang masih terus bergerak dan memicu gempa di berbagai wilayah. Termasuk gempa-gempa yang terjadi di Indonesia.

 Jika benua dalam satu waktu bergabung, maka batuan dan pegunungan pada waktu yang sama di lokasi yang berdampingan dan di benua yang berhadapan haruslah cocok. Jalur pegunungan Appalachian yang berada di Timur benua Amerika Utara dengan sebaran berarah Timur Laut secara tiba-tiba menghilang di pantai Newfoundland. Pegunungan yang memiliki umur sama dengan pegunungan Appalachian juga ditemukan di Timur Greenland, Irlandia, Inggris, dan Norwegia. Kedua pegunungan tersebut apabila diletakkan pada lokasi sebelum terjadinya pemisahan / pengapungan, kedua pegunungan ini akan membentuk suatu jalur pegunungan yang menerus. Sehingga, menandakan bahwa dahulu kedua daratan yang terpisah ini adalah satu.

Secara garis besar, teori Apungan Benua (Continental Drift) ini melihat dari unsur-unsur bentuk, struktur, dan umur yang sama atau identik. Namun teori ini masih memiliki kelemahan, yaitu tidak dapat menjelaskan sebab terjadinya benua atau super-kontinen Pangaea pecah, sehingga muncul teori baru Teori Penjalaran Dasar Laut (Sea Floor.

Bukti pertama bahwa lempeng-lempeng itu memang mengalami pergerakan didapatkan dari penemuan perbedaan arah medan magnet dalam batuan-batuan yang berbeda usianya. Penemuan ini dinyatakan pertama kali pada sebuah simposium di Tasmania tahun 1956. Mula-mula, penemuan ini dimasukkan ke dalam teori ekspansi bumi, namun selanjutnya justru lebih mengarah ke pengembangan teori tektonik lempeng yang menjelaskan pemekaran (spreading) sebagai konsekuensi pergerakan vertikal (upwelling) batuan, tetapi menghindarkan keharusan adanya bumi yang ukurannya terus membesar atau berekspansi (expanding earth) dengan memasukkan zona subduksi/hunjaman (subduction zone), dan sesar translasi (translation fault). Pada waktu itulah teori tektonik lempeng berubah dari sebuah teori yang radikal menjadi teori yang umum dipakai dan kemudian diterima secara luas di kalangan ilmuwan. Penelitian lebih lanjut tentang hubungan antara seafloor spreading dan balikan medan magnet bumi (geomagnetic reversal) oleh geolog Harry Hammond Hess dan oseanograf Ron G. Mason menunjukkan dengan tepat mekanisme yang menjelaskan pergerakan vertikal batuan yang baru.


Related Posts

Tidak ada komentar:

Posting Komentar